Rabu, 19 November 2014

Refreshing dan Nuansa baru

Setelah sedikit lelah dengan kegiatan kampus, saya merasa membutuhkan sedikit refreshing diri dengan mencoba berganti suasana. Tapi sepertinya hal itu sulit terealisasikan di waktu-waktu yang krusial seperti ini. Baru-baru ini salah seorang dari teman saya meminta saya untuk menjadi salah satu pengawas Try Out SMA Simultan karena adanya kekurangan SDM. Dengan setengah hati antara iba dan tidak rela, sayapun memaksakan diri untuk mengikutsertakan diri.

Tadi pagi saya melihat sebuah status teman saya di Line tentang; mempertahankan satu kemungkinan dari seribu kemustahilan. Sangat menginspirasi sekali, kita emang tidak akan pernah tahu dimana miracle dan impian besar itu akan terwujud. Saya pun masih mengharapkannya.

Sekitar jam 8 pagi tadi saya berangkat ke kampus seperti biasa, saya melewati fakultas peternakan dan kedokteran hewan. Tiba-tiba saya ingeng mampir ke Agro Mart untuk sekedar membeli yogurt atau susu hasil dari produksi ternak anak peternakan, ternyata hasilnya tidak mengecewakan. Produk mereka dijual dengan tampilan lucu dan murah, sangat terjangkau dengan kantong mahasiswa. Saya berencana untuk mengajak beberapa kawan saya untuk mencoba bisnis susu dan yogurt ini, semoga saja bisa berjalan dengan lancar. Itung-itung buat nabung dan mengurangi biaya makan.

Suasana kampus sedang penuh dengan aura politik dan pemilu. Saya dan Puspita bekerjasama merencanakan acara debat internal BEM FEB, saya harap acara akan berjalan dengan lancar dan seru. Hingga kini saya masih meragukan kedudukan BEM FEB yang setara dengan HMJ, jika semua setara, lalu siapa yang akan mengatur dan mengawasi? Saya berharap angkatan-angkatan kedepan dapat menysuaikan kebutuhan mahasiswanya, bukan hanya mereneruskan apa yang ia dapat dari angkatan sebelumnya. Bukan bermaksud inovasi, tapi menurut saya, sistem ada bukan untuk meneruskan yang lama, tapi disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan oleh anggota dan mahasiswanya. That's what i think.

Saya masih mencoba menjari jasa toefl gratis, atau setidaknya murah. Tidak enak rasanya kalau meminta hal seperti ini pada orang tua, padahal ini hanya keinginan dan kehendak pribadi. Saya sendiri merasa skill bahaa inggris saya masih belum cukup, tapi saya akan terus belajar sunguuh-sungguh.

Saya ingin lebih dekat dengan Tuhan, tak tahan rasa ini bila mengingat saya akan mati tiba-tiba tanpa tahu kapan, entah bekal apa yang saya tumpuk akan berguna atau akan menjerumuskan diri saya sendiri. Mungkin saya lah yang lemah terhadap godaan setan, saya masih lemah dengan hawa nafsu diri saya sendiri. Saya merindukan puasa sunah Senin-Kamis, saya rindu suasana agamis ala SMA, saya rindu dnegan teman-teman yang selalu mengajak saya sholat dhuha dan mengingatkan saya untuk sholat tahajud, saya rindu dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang didendanngkan ibu saya, saya rindu ketika adek saya mencoba menghafalkan surat-surat Al-Qur'an, saya rindu Islam, saya rindu Allah.

----------------------

Rabu, 12 November 2014

Pieces of My Life (?)

In this past 3 months, i've been a student of a good university in my country (or at least people think that way).

Saya masih mengingat masa-masa 8 bulan yang lalu, di mana saya masih menjadi seorang siswa SMA yang (tidak) siap menjalani ujian nasional. Saya menghabiskan waktu kelas 3 saya di SMA untuk membaca  novel, buku-buku non-SMA (filsafat, psikologi, ilmu sejarah, maupun ilmu tanah), manga online, dan kitab kalkulus yang dulu menjadi pegangan saya sementara untuk sekedar mengisi waktu dikala pelajaran geografi yang membosankan. Saya yang mendapatkan peringkat parallel 32 dari 63 siswa IPS seluruh angkatan sudah merasa bahkan undangan bukanlah jalan terbaik saya untuk mendapatkan kuliah yang layak. Walau jika memang saya bisa menurunkan grade sedikit saja, beberapa universitas baik 'mungkin' masih mau menampung diri yang malas belajar ini, but i didn't think it was the best way for me.
Sejujurnya, saya payah di akuntansi dan selalu tidur di mata pelajaran geografi, remedi rapot matematika di kelas 10, dan mendapat peringkat nomor 2 paling bawah di kelas 10 pula. Saya sempat mencoba belajar bahasa jepang di kelas 3 SMA, namun menyerah satu bulan kemudian. Saya pernah mengikuti lomba karya tulis sejarah tingkat regional (dan itu adalah makalah pertama saya) dan berakhir dengan tangan hampa. Saya tidak pernah mengikuti lomba akademik, sejauh yang saya ingat, semua lomba yang pernah saya ikuti hanyalah lomba pramuka dan karya tulis (walau cuma sekali). Saya tidak pernah mendapatkan rangking kecuali di kelas 8 semester 2 dimana saya mendapatkan rangkin 10 dan ketika UAS-BN SD dimana saya mendapatkan NEM 28,35 (dari 3 mata pelajaran) yang menempatkan saya di peringkat 3 sesekolah.
Dengan semua record yang telah saya cantumkan, you can say that I'm totally a normal person.

Kembali ke beberapa bulan yang lalu, saya tidak pernah les selama menghadapi ujian nasional SMA, saya terlalu malas untuk membuang waktu saya untuk les, dan ibu saya selalu merasa khawatir dengan anaknya ketika itu. Saya telah menargetkan untuk mengincar beasiswa Mitsui Bussan dan Monbukagakushou walau berakhir dengan kegagalan. Saya mengikuti SBMPTN (ujian masuk universitas negeri untuk seluruh calon mahasiswa se-Indonesia) dan lolos pada pilihan kedua pada Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro, Semarang, but at that time.. i felt like that was not my way. Dan benar saja, di lain jalan, saya lolos Ujian Tulis di Universitas Gadjah Mada pada jurusan Ilmu Ekonomi. Saya merasa itulah tujuan terendah saya karena tujuan saya yang utama adalah study abroad. Bahkan saya sempat galau dengan diterimanya saya disana, bukan hanya karena idealisme semata, kuliah di UGM yang sekarang berbasis UKT justru membuat orang tua saya harus membayar uang kuliah yang jauh lebih mahal, dalam satu tahun saya harus membayar 18 juta hanya untuk uang kuliah. Itu jauhhhhh lebih mahal dari sistem 2 tahun yang lalu dimana kakak saya yang kuliah Akuntansi di UGM hanya diharuskan membayar tidak lebih dari 3 juta dari total semua dana dalam setahun. Karena UGM membebankan biaya kuliah yang sama, baik untuk mahasiswa undangan maupun ujian tulis, hal itu bedampak sama pula pada beberapa kawan saya.

Saya masih merasa ganjil dengan kondisi saya sekarang. Saya menjadi mahasiswa aktif di kampus. Saya telah menjadi bagian dari Badan Eksekutif Mahasiwa FEB UGM, sempat menjadi panitia Kompetisi Ekonomi Nasional, panitia FSDE International Seminar, menjadi wakil ketua angkatan (bukan jabatan yang penting sebenarnya), dan sekarang sedang disibukkan dengan persiapan acara besar di akhir tahun dan acara angkatan di akhir bulan November. Saya adalah salah satu orang yang membenci politik dan kekuasaan, baru-baru ini ada seorang kandidat ketua yang menyuruh saya membujuk teman saya untuk menjadi tim suksesnya, dan jika ia gagal mendapatkannya, ia ingin saya menggantikannya sebagai wakil dari jurusan saya. Saya selalu berpikir berpolitik itu sangat membuang-buang waktu saya, saya selalu hanya ingin menjadi pengajar di suatu unversitas, mengadakan penelitian dan pembelajaran, keliling dunia, melihat banyak hal, dan menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarga nanti. Namun itu hanyalah idealisme saya semata, tapi harapan bukan ada hanya untuk dikenang, idealisme tidak selalu ada untuk diremehkan. Sedangkan menjauh dari politik sepertinya sesuatu hal yang mustahil, belum lama ini saya beserta kawan saya di amanahi untuk menjadi penanggung jawab pemilu tingkat jurusan, namun saya menyerahkan hak itu padanya demi keefektifan koordinasi (dan karena saya terlalu malas untuk sibuk di akhir tahun). Menjadi aktifis selama 2 bulan ini telah membuat saya muak dengan kehidupan sok-penting ala mahasiswa, saya hanya ingin belajar dan membaca buku, serta sekali-kali hang out atau nonton film.

17 tahun hidup saya saya habiskan di Purworejo dan Jogja, dua kota bersebelahan yang hanya butuh waktu 1 jam dengan kereta, ditambah dua kali ke Bali untuk berlibur selama 5 hari. Saya tidak pernah naik pesawat, dan selalu merasa takut dengan luasnya lautan, saya bisa berenang namun terlalu takut untuk berenang di air dalam. Saya beberapa kali ingin menulis novel atau membuat manga tapi selalu bosan di tengah jalan. Saya selalu mempertanyakan bakat saya yang sebenarnya namun melupakan pertanyaan itu 3 jam kemudian.

Baru-baru ini saya mendapatkan informasi beasiswa baru. Mungkin tahun ini saya akan mencobanya lagi, saya tidak tahan dnegan biaya 18juta setahun yg harus di emban orang tua saya, setidaknya saya ingin mengurangi beban mereka dan berusaha hidup mandiri dan menjadi orang kaya yang kelak akan merawat orang tua saya dikala meraka tua nanti. Hati seorang anak memang tidak pernah terlepas dari kasih sayang orang tua mereka.

Banyak kawan saya yang telah tersebar di pelosok negeri dan dunia, meraih asa mereka masing-masing, menjalani jalan mereka masing-masing, semua mempertanyakan masa depan dan harapan, serta selalu galau dengan ketidakpastian. It goes the same way for me, I'm going to continue my life and do the right choice on the right place. Bismillah.